Sesungguhnya ada dua faktor integral yang menjadi dasar dan latar
belakang sejarah berdirinya IMM, yaitu faktor intern dan faktor
ekstern. Yang dimaksud dengan faktor intern adalah faktor yang terdapat
dan ada dalam organisasi Muhmmadiyah itu sendiri. Sedangkan faktor
ekstern adalah hal-hal dan keadaan yang datang dari dan berada di luar
Muhammadiyah, yaitu situasi dan kondisi kehidupan umat dan bangsa serta
dinamika gerakan organisasi-organisasi mahasiswa.
Faktor intern sebetulnya lebih dominan dalam bentuk motivasi
idealis dari dalam, yaitu dorongan untuk mengembangkan ideologi, paham,
dan cita-cita Muhammadiyah. Untuk mewujudkan cita-cita dan merefleksikan
ideologinya itu, maka Muhammadiyah mesti bersinggungan dan berinteraksi
dengan berbagai lapisan dan golongan masyarakat yang majemuk. Ada
masyarakat petani, pedagang, birokrat, intelektual, profesional,
mahasiswa. dan sbagainya.
Interaksi dan persinggungan Muhammadiyah
dengan mahasiswa untuk merealisasikan maksud dan tujuannya itu, cara dan
strateginya bukan secara langsung terjun mendakwahi dan mempengaruhinya
di kampus-kampus perguruan tinggi. Tetapi caranya adalah dengan
menyediakan dan membentuk wadah khusus yang bisa menarik animo dan
mengembangkan potensi mahasiswa. Anggapan mengenai pentingnya wadah bagi
mahasiswa tersebut lahir pada saat Muktamar ke-25 Muhammadiyah (Kongres
Seperempat Abad Kelahiran Muhammdiyah) pada tahun 1936 di Jakarta. Pada
kesempatan itu dicetuskan pula cita-cita besar Muhammadiyah untuk
mendidirkan universitas atau perguruan tinggi Muhammadiyah.
Namun demikian, keinginan untuk menghimpun
dan membina mahasiswa-mahasiswa Muhammadiyah tersebut tidak bisa
langsung terwujud, karena pada saat itu Muhammadiyah belum memiliki
perguruan tinggi sendiri. Untuk menjembataninya, maka para mahasiswa
yang sepaham, atau mempunyai alam pikiran yang sama, dengan Muhammadiyah
itu diwadahi dalam organisasi otonom yang telah ada seperti NA dan
Pemuda Muhammadiyah, serta tidak sedikit pula yang berkecimpung di HMI.
Pada tanggal 18 November 1955, Muhammadiyah baru bisa mewujudkan
cita-citanya untuk mendirikan perguruan tinggi yang sejak lama telah
dicetuskannya pada tahun 1936, yaitu dengan berdirinya Fakultas Hukum
dan Filsafat di Padang Panjang. Pada tahun 1958, fakultas serupa
dibangun di Surakarta; kemudian di Yogyakarta berdiri Akademi Tabligh
Muhammadiyah; dan Fakultas Ilmu Sosial di Jakarta, yang kemudian
berkembang menjadi Universitas Muhammadiyah Jakarta. Kendati demikian,
cita-cita untuk membentuk organisasi bagi mahasiswa muhammadiyah
tersebut belum bisa terbentuk juga pada waktu itu. Kendala utamanya
karena Muhammadiyah—yang waktu itu masih menjadi anggota istimewa
Masyumi—terikat Ikrar Abadi umat Islam yang dicetuskan pada tanggal 25
Desember 1949, yang salah satu isinya menyatakan satu-satunya organisasi
mahasiswa Islam adalah HMI.
Sejak kegiatan pendidikan tinggi atau
perguruan tinggi Muhammadiyah berkembang pada tahun 1960-an itulah
kembali santer ide tentang perlunya organisasi yang khusus mewadahi dan
menangani mahasiswa. Sementara itu, menjelang Muktamar Muhammadiyah
Setengah Abad di Jakarta pada tahun 1962, mahasiswa-mahasiswa perguruan
tinggi Muhammadiyah mengadakan Kongres Mahasiswa Muhammadiyah di
Yogyakarta. Dari kongres ini pula upaya untuk membentuk organisasi
khusus bagi mahasiswa Muhammadiyah kembali mengemuka. Pada tanggal 15 Desember 1963 mulai diadakan penjajagan
berdirinya Lembaga Dakwah Mahasiswa yang idenya berasal dari Drs.
Mohammad Djazman, dan kemudian dikoordinir oleh Ir. Margono, dr.
Soedibjo Markoes, dan Drs. A. Rosyad Sholeh.
Dorongan untuk segera membentuk wadah bagi
mahasiswa Muhammadiyah juga datang dari para mahasiswa Muhammadiyah yang
ada di Jakarta seperti Nurwijoyo Sarjono, M.Z. Suherman, M. Yasin,
Sutrisno Muhdam dan yang lainnya. Dengan banyaknya desakan dan dorongan
tersebut, maka PP Pemuda Muhammadiyah—waktu itu M. Fachrurrazi sebagai
Ketua Umum dan M. Djazman Al Kindi sebagai Sekretaris Umum—mengusulkan
kepada PP Muhammadiyah—yang waktu itu diketuai oleh K.H. Ahmad
Badawi—untuk mendirikan organisasi khusus bagi mahasiswa yang diiberi
nama Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah—atas usul Drs. Mohammad Djazman
yang--, dan kemudian disetujui oleh PP Muhammadiyah serta diresmikan
pada tanggal 14 Maret 1964 (29 Syawwal 1384). Peresmian berdirinya IMM
itu resepsinya diadakan di gedung Dinoto Yogyakarta; dan ditandai dengan
penandatanganan "Enam Penegasan IMM" oleh K.H. Ahmad Badawi, yang
berbunyi:
- Menegaskan bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa Islam;
- Menegaskan bahwa kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan IMM;
- Menegaskan bahwa ilmu adalah amaliah dan amala adalah ilmiah;
- Menegaskan bahwa amal IMM adalah lilLahi Ta'ala dan seenantiasa diabdikan untuk kepentingan rakyat.
Sedangkan faktor ekstern berdirinya IMM
berkaitan dengan situasi dan kondisi kehidupan di luar dan di sekitar
Muhammadiyah. Hal ini paling tidak bertalian dengan keadaan umat Islam,
kehidupan berbangsa dan bernegara rakyat Indonesia, serta dinamika
gerakan mahasiswa.
Keadaan dan kehidupan umat Islam waktu itu
masih banyak dipenuhi oleh tradisi, paham, dan keyakinan yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Keyakinan dan praktek
keagamaan umat Islam, termasuk di dalamnya adalah mahasiswa, banyak
bercampur baur dengan takhayul, bid`ah, dan khurafat.
Sementara itu dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara juga tengah terancam oleh pengaruh ideologi komunis (PKI),
keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan konflik kekuasaan antar
golongan dan partai politik. Sehingga, kendati waktu itu Indonesia telah
merdeka selama kurang lebih 20 tahun, namun tidak bisa mencerminkan
makna dan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Demokrasi dan kedaulatan
rakyat terkungkung, sementara tirani kekuasaan dan otoritarianisme
merajalela akibat kebijakan demokrasi terpimpin ala Soekarno.
Keadaan politik Indonesia sekitar awal
sampai dengan pertengahan tahun '60-an, tulis Cosmas Batubara, sangat
menarik. Banyak pengamat politik yang mengatakan bahwa perkembangan dan
kehidupan politik saat itu diwarnai oleh tiga pelaku politik yang amat
dominan, yaitu: Diri pribadi Presiden soekarno; ABRI (terutama sekali
angkatan Darat); dan PKI. Ketiga kekuatan politik tersebut sangat
mewarnai dan mempengaruhi perilaku dan orientasi kehidupan berbangsa,
dan bernegara di berbagai lapisan dan kelompok masyarakat. Di kalangan
organisasi mahasiswa, orientasi dan perilaku politiknya juga terbagi ke
dalam tiga kekuatan dominan tadi. Organisasi mahasiswa yang secara tajam
mengikuti garis Presiden Soekarno adalah GMNI, dan yang sejalan dengan
garis ABRI adalah HMI, PMKRI, dan SOMAL (Sekretariat
Organisasi-Organisasi Mahasiswa Lokal). Sedangkan yang mengikuti dan
mendukung garis PKI adalah CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa
Indonesia). Di tengah kemelut dan pertentangan garis politik tersebut,
pergolakan organisasi-organisasi mahasiswa sampai dengan terjadinya G30S 1965 terlihat menemui jalan
buntu dalam mempertahankan partisipasinya di era kemerdekaan RI. Pada
waktu itu sejak Kongres Mahasiswa Indonesia di malang pada tanggal 8
Juni 1947, organisais-organisasi mahasiswa seperti HMI, PMKRI (Persatuan
Mahasiswa Katholik Republik Indonesia), PMKI (Persekutuan Mahasiswa
Kristen Indonesia; yang pada tahun 1950 berubah menjadi GMKI [Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia]), PMJ (Persatuan Mahasiswa Jogjakarta), PMD
(Persatuan Mahasiswa Djakarta), MMM (Masyarakat Mahasiswa Malang), PMKH
(Persatuan Mahasiswa Kedokteran Hewan), dan SMI (Serikat Mahasiswa
Indonesia) berfusi ke dalam PPMI (Perserikatan Perhimpunan-Perhimpunan
Mahasiswa Indonesia) yang bersifat independen. Independensi PPMI sebagai
penggalang kekuatan anti-imperialisme pada mulanya berjalan kompak.
Tetapi setelah mengadakan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika (KMAA) di
Bandung tahun 1957—yang menjadi prestasi puncak PPMI—masing-masing
organisasinya kemudian memisahkan diri. Hal ini karena pada tahun 1958
PPMI menerima CGMI, selundupan PKI, yang kemudian melancarkan aksi
intervensi untuk mempengaruhi organisasi mahasiswa lain agar keluar dari
PPMI. Akhirnya , karena kuatnya pengaruh dan intervensi dari CGMI
tersebut, maka masing-masing organisasi dalam PPMI memisahkan diri. Pada
bulan oktober 1965, setelah PKI dilumpuhkan, PPMI akhirnya secara resmi
membubarkan diri. Sasaran gerakan CGMI sebetulnya ingin mendominasi
gerakan mahasiswa dan kehidupan kampus serta ingin menyingkirkan
organisasi-organisasi mahasiswa Islam seperti HMI.
Sesungguhnya sebelum PPMI membubarkan diri,
antara tahun 1964 sampai 1965 masing-masing organisasi mahasiswa yang
berfusi di dalamnya bersikap sok revolusioner. Pada akhirnya HMI juga
tidak ketinggalan untuk menjadi bagian dari kekuatan revolusioner.
Menurut Deliar Noer, waktu itu HMI dengan keras turut menyanyikan
senandung Demokrasi Terpimpin. Slogan-slogan Soekarno mulai
dikumandangkan seperti "Nasakom jiwaku", "revolusioner", dan "ganyang
Malaysia". Bahkan pada tahun 1964 HMI memecat beberapa anggota
penasihatnya yang telah alumni karena tidak sesuai dengan revolusi. HMI
juga mengecam keras Kasman Singodimedjo yang sedang menghadapi
pengadilan di Bogor dan menuntut dihukum sekeras-kerasnya bila bersalah.
Kendati HMI telah berusaha menunjukkan
eksistensi dirinya sebagai bagian dari kekuatan revolusioner, namun
tetap saja HMI menjadi sasaran CGMI dan/atau PKI untuk dibubarkan. Pada
saat saat HMI terdesak itulah Ikatan mahasiswa Muhammadiyah lahir pada
tanggal 14 maret 1964 (29 Syawal 1384 H). Itulah sebabnya muncul
persepsi yang keliru bahwa IMM dibentuk adalah sebagai persiapan untuk
menampung aggota-anggota HMI kalau terjadi dibubarkan. Persepsi yang
keliru ini dikaitkan dengan dekatnya hubungan HMI dengan Muhammadiyah.
Sebagaimana diketahui bahwa HMI pada mulanya didirikan dan dibesarkan
oleh orang-orang Muhammadiyah, maka kalau HMI dibubarkan Muhammadiyah
harus menyediakan wadah lain.
Persepsi tersebut adalah keliru, karena
kelahiran IMM salah satu faktor historisnya adalah justru untuk membantu
dan mempertahankan eksistensi HMI supaya tidak mempan dengan
usaha-usaha PKI yang ingin membubarkannya. Sebab, kalau kelahiran IMM
diperuntukkan untuk mengganti HMI jika dibubarkan, maka IMM tidak perlu
repot-repot terlibat dalam beraksi menentang PKI yang mau membubarkan
HMI. Di antara praduga mengapa kehadiran IMM dalam sejarah gerakan
mahasiswa dipersoalkan adalah karena sangat dekatnya kelahiran
IMM—kendati ide dasarnya sudah ada sejak tahun 1936—dengan peristiwa G
30 S/PKI. Sehingga muncul pertanyaan (yang menggugat), mengapa IMM yang
baru lahir sudah langsung terlibat dalam peristiwa nasional dan sejarah
besar dalam pergulatan bangsa melawan dan menghancurkan PKI. Pada tahun
1965, IMM juga ikut bergabung dalam wadah KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia), dan Slamet Sukirnanto, salah seorang tokoh DPP IMM, pada
saat dibentuknya KAMI menjadi salah satu Ketua Presidium Pusat KAMI. IMM
sendiri pada masa-masa awal berdiriya tidak luput dari ancaman dan
teror PKI. Reaksi jahat dari PKI terhadap kelahiran IMM tersebut tidak
saja tejadi di pusat, tetapi juga di daerah-daerah. Untuk menyelamatkan
eksistensi IMM yang baru berdiri itu, maka dalam kesempatan audiensi dan
silaturahmi dengan Presiden Soekarno di Istana Negara Jakarta pada
tanggal 14 Februari 1965 DPP IMM meminta restunya. "Saja beri restu
kepada Ikatan Mahasiswa Muhammadijah", demikian pernyataan yang
ditandatangai oleh Presiden Soekarno. Karena IMM merupakan kebutuhan
intern dan ekstern Muhammadiyah, maka tokoh-tokoh PP Pemuda Muhammadiyah
yang sebelumnya bergabung dengan HMI kembali, sekaligus untuk membina
dan mengembangkan IMM. Dalam hal ini juga muncul klaim dan persepsi yang
keliru, bahwa IMM dilahirkan oleh HMI. Tokoh-tokoh Pemuda Muhammadiyah
khususnya yang terlibat menghembangkan HMI, karena waktu itu IMM belum
ada. Sementara keterlibatan mereka di HMI adalah untuk mengembangkan
ideologi Muhammadiyah. Buktinya setelah sekian lama ada di HMI, ternyata
HMI yang sudah dimasuki oleh mahasiswa dari berbagai kalangan ormas
keislaman itu pada akhirnya berbeda dengan orientasi Muhammadiyah. Oleh
karena itu adalah wajar jika pada akhirnya mereka kembali ke
Muhammadiyah sekaligus untuk turut mengembangkan IMM. Hal ini seperti
yang terjadi di Yogyakarta, Jakarta, Riau, Padang, Ujungpandang dan lain
lain. Juga perlu dicatat bahwa para tokoh PP Pemuda Muhammadiyah dan NA
yang terlibat dalam mengusahakan terbentunya IMM sejak awal sampai
berdirinya adalah mereka yang betul-betul tidak pernah terlibat dalam
HMI. Berdirinya IMM berdasarkan perjalanan sejarahnya tersebut adalah
karena tuntutan dan keharusan sejarah (historical nessecity) dalam
kontek kehidupan umat, bangsa, dan negara serta dinamika gerakan
mahasiswa di Indonesia. Adapun maksud berdirinya IMM adalah: 1. Turut
memelihara martabat dan membela kejayaan bangsa; 2. Menegakkan dan
menjunjung tinggi agama Islam; 3. Sebagai upaya untuk menopang,
melangsungkan, dan meneruskan cita-cita pendirian Muhammadiyah; 4.
Sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna cita-cita pembaruan dan
amal usaha Muhammadiyah; 5. Membina, meningkatkan, dan memadukan iman
dan ilmu serta amal dalam kehidupan bangsa, umat, dan persyarikatan.
Dinamika Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Seperti halnya organisasi-organisasi lain, dalam karier sejarahnya IMM
mengalami dinamika gerakan yang naik turun dan pasang surut. Selama
lebih dari tiga setengah dasawarsa ini, IMM telah mengalami empat
periode gerakan. Pertama, periode pergolakan dan pemantapan (1964-1971).
Kedua, periode pengembangan (1971-1975). Ketiga, periode tantangan
(1975-1985). Keempat, periode kebangkitan (1985-?).
Dalam periode pergolakan dan pemantapan
ini, IMM yang masih sangat muda harus berhadapan dengan situasi dan
kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya di tengah kehidupan berbangsa,
bernegara dan beragama yang sangat rawan dan kritis. IMM pada saat itu
langsung berhadapan dengan kebijakan Manipol Usdek Bung Karno, Nasakom,
dan ancaman PKI. Dalam periode ini kegiatan-kegiatan IMM lebih banyak
diarahkan kepada pembinaan personil, penguatan organisasi, pembentukan
dan pengembangan IMM di kota-kota maupun perguruan tinggi. Dalam periode
ini pula pola gerakan, prinsip perjuangan dan perangkat organisasi IMM
berhasil ditetapkan.
Dalam periode ini telah terselenggara tiga
kali Musyawarah Nasional (Muktamar) dan empat kali Konferensi Nasional
(Tanwir) serta terbentuk lima kali formasi kepemimpinan IMM. Selama
periode ini Mohammad Djazman Al-Kindi terus menjadi Ketua Umum DPP IMM.
Kepemimpinan pertama (DPP Sementara) pra-Munas berlangsung dari tahun
1964-1965, dengan Ketuanya Mohammad Djazman Al-Kindi. Kepemimpinan kedua
(1965-1967) adalah hasil Munas I di Surakarta (1-5 Mei 1965). Ketua
Umum: Mohammad Djazman Al-Kindi; dan Sekretaris Jendral: A. Rosyad
Sholeh. Kepemimpinan ketiga hasil reshuffle pada pertengahan 1966, Ketua
Umumnya tetap; dan Soedibjo Markoes menjadi Pejabat Sekjen.
Kepemimpinan keempat (1967-1969) hasil Munas II di Banjarmasin (26-30
November 1967), Ketua Umum tetap; dan Sekjennya adalah Syamsu Udaya
Nurdin. Kepemimpinan kelima hasil reshuffle pada Konfernas di Magelang
(1-4 Juli 1970), Ketua Umum-nya masih tetap; sedangkan yang menjadi
Sekjen adalah Bahransyah Usman.
Selain Djazman, tokoh-tokoh awal IMM
lainnya yang terkenal di antaranya seperti: A. Rosyad Sholeh, Soedibjo
Markoes, Mohammad Arief, Sutrisno Muhdam, Zulkabir, Syamsu Udaya Nurdin,
Nurwijoyo Sarjono, Basri Tambun, Fathurrahman, Soemarwan, Ali Kyai
Demak, Sudar, M. Husni Thamrin, M. Susanto, Siti Ramlah, Deddy Abu
Bakar, Slamet Sukirnanto, M. Amien Rais, Yahya Muhaimin, Abuseri
Dimyati, Marzuki Usman, Abdul Hadi W.M. Machnun Husein, dll.
Peran dan kehendak IMM untuk meneguhkan dan
memantapkan eksistensinya secara signifikan dalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara serta untuk kepentingan ummat dan Muhammadiyah
selama periode ini tampak menonjol, baik melalui pernyataan
deklarasi-deklarasinya—seperti Deklarasi Kota Barat 1965 dan Deklarasi
Garut 1967—maupun dengan aktivitas kegiatan dan artikulasi gerakannya.
Mulai tahun 1971-1975 disebut sebagai periode pengembangan, karena
masalah-masalah yang menyangkut konsolidasi pimpinan dan organisasi
tidak terlalu banyak dipersoalkan. Orientasi kegiatan dan dinamika
gerakan IMM sudah mulai banyak diarahkan pada pengembangan organisasi
seperti melalui program-program sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Dinamika gerakan IMM ini semakin memperteguh concern IMM terhadap
masalah-masalah kehidupan mahasiswa, umat, dan bangsa di tengah gejolak
sosial dan modernisasi pembangunan. Hal ini misalnya seperti yang
dinyatakan dalam Deklarasi Baiturrahman 1975, maupun dalam hasil rumusan
pemikiran dari Munas dan Konferensi IMM. Dalam periode ini hanya
terjadi satu kali suksesi kepemimpinan di tingkat DPP IMM. Munas III di
Yogyakarta (14-19 Maret 1971) menghasilkan A. Rosyad Sholeh sebagai
Ketua Umum; dan Machnun Husein sebagai Sekjen. Kemudian Konfernas V di
Padang memutuskan penambahan personalia staf DPP IMM, yaitu: Alfian
Darmawan, Abbas Sani, Maksum Saidrum, Ajeng Kartini, Dahlan Rais, Ahmad
Syaichu, dan Arief Hasbu.
dan saya di sini juga para mahasiswa yang organisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) ADOLESENSI tahun 2011 yang bertempat tingal di malang jaln tlogo mas 15c no12